Harapan di Wajah Ibu Pertiwi

 

 

Saat ini kita bebas berteriak lantang meneriakkan kemerdekaan bangsa kita; bangsa besar dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, dan kekayaan alam yang melimpah. Kita bebas berteriak dengan lantang, memberitahukan kepada dunia bahwa kita telah merdeka. Sama seperti kita juga bebas berteriak, memberitahukan kepada dunia bahwa kita mempunyai segudang permasalahan yang rumit. Tapi kita juga bebas berteriak, memberitahukan dengan bangga kepada dunia bahwa kita masih punya harapan dan solusi, yaitu pemuda!

 

 

Kita punya laut. Warnanya biru. Indah dipandang mata. Dari dasarnya kita bisa menikmati kebesaran Tuhan; terumbu karang yang indah, ikan-ikan yang berwarna meriah, dan barang tambang yang melimpah. Tapi itu dulu! Saat ini laut kita menceritakan serial kepedihannya; terumbu karang habis diburu kolektor, ikan banyak yang dicuri negara tetangga, dan barang tambang hampir habis tak bersisa.

 

Kita punya hutan. Warnanya hijau. Sejuk dipandang mata. Di hutan itu kita menyimpan cadangan air. Di hutan itu juga kita menebang sebatang dua batang pohon untuk membuat rumah tempat kita berkumpul bersama keluarga. Di hutan itu juga kita bisa mendengar burung yang berkicau, ular yang berdesis, dan harimau yang mengaum. Tapi itu dulu! Saat ini hutan kita mempertontonkan episode kepiluannya; hutan tidak bisa menjadi tempat menyimpan cadangan air karena telah gundul, pepohonan ditebang sampai habis, dan hewan-hewan diburu lalu dikoleksi.

 

Kita punya masyarakat. Komposisinya majemuk. Menjadi guratan pelangi kehidupan di langit peradaban Indonesia. Orangnya ramah-ramah, menjaga sopan santun, saling tolong menolong, dan mencintai sesama. Tapi itu dulu! Masyarakat kita saat ini lebih suka mencontoh hewan. Dari kehidupan dewan rakyat yang terhormat, kita dicontohkan untuk beramai-ramai melakukan mega-korupsi, main perempuan, budaya materialisme, sampai adu jotos. Itu trend saat ini, walau tidak mayoritas. Dari kehidupan wong cilik, kita dicontohkan untuk membunuh semama, mencuri harta tetangga, mengais sampah untuk makan, sampai dengan bunuh diri karena putus asa.

 

Teman! Simaklah…!  itu jeritan bangsa Indonesia. Seolah Indonesia meminta, memohon, dan mengiba. “Tolong selamatkan aku”, begitu kata ibu pertiwi.

 

Ibarat hari, mungkin saat ini Indonesia telah melewati masa senjanya. Gelapnya malam beringsut menyelimuti alam Indonesia. Masyarakat Indonesia menanti hadirnya bulan; jika bulan itu bulat sempurna maka kita menyebutnya dengan purnama. Tapi percayalah, seterang-terangnya purnama, ia tidak dapat menghapus kegelapan. Maka persiapkanlah segalanya untuk melewati malam ini. Bahkan sampai di penghujung malam yang paling pekat sekalipun! Karena di malam yang paling pekat itulah akan ada tanda-tanda munculnya harapan baru; ada fajar yang siap menyingsing. Menerangi segenap sanubari rakyat Indonesia.

 

Harapan itulah yang kita sebut dengan pemuda. Bukan hanya karena secara fisik seorang pemuda itu lebih gagah, tapi lebih karena jiwanya yang masih segar, pikiran yang cemerlang, dan semangatnya yang masih membara. Maka ingatlah bagaimana presiden pertama kita, Ir. Soekarno, menggambarkan tanda-tanda kekuatan pemuda: “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia!”.

 

Saat ini kita sedang mengisi kemerdekaan dengan perjuangan. Dan tidak ada perjuangan yang tidak tertampar oleh dinamika. Kita hanya sedang menghadapi dinamika perjuangan; maju dan mundur, diam dan berteriak, juga naik dan turun. Di sinilah kita harus memilih peran yang tepat bagi kita. Bukan saatnya lagi memperingati kemerdekaan hanya dengan goyang dangdut, lengkap dengan pinggul yang melayang di atas panggung.

 

Masyarakat Indonesia membutuhkan pencerdasan nyata, bukan kesenangan yang semu. Walaupun yang kita punya hanya dada kurus, yang sebenernya terlalu sempit untuk menampung sebuah masalah, tapi biarlah dada itu belajar untuk menjadi lebih lapang. Walaupun yang kita punya hanya pundak rapuh, yang sebenarnya terlalu lemah untuk mengemban sebuah misi, tapi biarlah ia belajar menjadi kokoh. Walaupun yang kita punya hanya kaki pecah-pecah, yang sebenernya terlalu lemah untuk melangkah, tapi biarlah ia belajar menjadi kuat menyusuri jalan perjuangan ini. Kalau bukan kita, maka siapa lagi yang akan mengisi kemerdekaan ini dengan perbaikan. Hidup pemuda Indonesia !!!

 

 

Dedi Setiawan, 10 Agustus 2008, 22.00 WIB
@ Rumah di Lampung, Never Ending Motivation Centre ^_^
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Motivasi dan inspirasi menulis :
– Hari kemerdekaan RI. Bangkit Indonesiaku…!
– Lomba di Tugu Pahlawan Community
– Orasi Anis Matta @ Bandar Lampung, 10 Agustus 2008
– Kata-kata Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno
– gambar diambil dari http://arch_nov.blogs.friendster.com/photos/arch_nov/merdeka.JPG

18 thoughts on “Harapan di Wajah Ibu Pertiwi

  1. Mudah2an memang ada banyak pemuda yg bisa jadi harapan bangsa. Meskipun makin banyak aja pemuda yg lebih sibuk mengejar angka ketimbang berbuat utk negeri ini.

  2. Merdeka!…. Ibu pertiwi mengingini agar anak bangsanya mandiri, cerdas. Agar dapat, salah satunya, setidaknya, mengelolah seluruh tambang yang tersebar di berbagai pelosok negeri ini…. Sekarang ini kenyataannya dikuasai oleh orang “pintar” dari luar! Tak dapat disangkal kalu negeri kita ini kaya namun sayang kekayaan itu blm dapat kita kelolah dgn menggunakan sumber daya manusia bangsa kita sendiri..

  3. Apakah makna kemerdakaan yang sesungguhnya?

    Apakah saat ini bangsa kita pantas dikatakan sebagai bangsa yang telah merdeka?

Tinggalkan Balasan ke easy Batalkan balasan